Minggu, 07 Juni 2015

AUGUSTINUS ( RUNTUT PIJAR hal 38-44)





Cetak Biru Iman
Augustinus adalah teolog Kristen yang terbesar setalah Rasul Paulus. Ia adalah Sang Bapa Gereja Barat. Pemikirannya mendominasi Abad Pertengahan, pemikiran yang baik maupun yang kurang baik. Reformasi dan Kontra-Reformasi Katolik abad ke-16 kedua-duanya merupakan penggalian kembali dari pemikiran Augustinus. *B.B.Warfield menyebut Reformasi sebagai “kemenangan terakhir dari doktrin Augustinus tentang kasih karunia atas doktrin Augustinus tentang gereja”.
            Aurelius Augustinus lahir di Thagaste- sekarang Aljazair-pada tahun 354 dari ayah kafir dan ibu Kristen Katolik bernama Monica. Pada masa studinya di Kartago ia memutuskan untuk mengabdikan diri pada filsafat. Sebagai katekumen Katolik (calon baptisan), sudah tentu ia berpaling pada Perjanjian Lama. Namun kejutan besar menunggunya. Bagi orang yang sudah terbiasa dengan *filsafat Yunani, Perjanjian Lama member kesan yang sangat bersahaja dan tidak rohaniah. Reaksi Augustinus adalah menolaknya dan ia bergabung dengan pengikut Manikheisme. Manikheisme adalah agama Persia dengan dua prinsip atau dewa utama: yaitu Terang dan Kegelapan. Kedua hal ini senantiasa bertentangan. Alam kelihatan berasal dari kegelapan, sedang manusia adalah hasil Terang. Teori ini menjelaskan asal-usul kejahatan. Ia juga dipakai untuk membebaskan kita dari tanggung jawab atas kejahatan kita ( yang adalah hasil kegelapan). Namun Augustinus akhirnya insaf bahwa, di samping banyak menjawab persoalan, Manikheisme juga banyak menciptakan problema baru; lalu ia mencari-cari kebenaran ke tempat lain.
            Pada waktu itu ia diangkat sebagai guru besar retorika di Milano. Kedudukan ini penting dan dapat disusul dengan jabatan yang lebih tinggi pada bidang pemerintahan. Augustinus mulai menbaca karya-karya Neo-Platonisme dan mendapatkan jawaban yang lebih memuaskan atas masalah kejahatan. Kejahatan bukan prinsip yang positif, lepas dari Allah. Kejahatan bukan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan kekurangan atau tidak adanya kebaikan. Dengan istilah zaman sekarang dapat kita katakana bahwa kejahatan itu menjadi parasit dari kebaikan atau kejahatan adalah sesuatu yang tadinya baik tetapi sekarang telah rusak. Nafsu, misalnya, adalah cinta yang salah arah. Augustinus kini juga mulai menghadiri khotbah-khotbah *Ambrosius. Ia terkesan dengan cara Ambrosius mempertemukan Perjanjian Lama dan kerohanian Platonisme melalui alegori. Hal ini mempersiapkannya untuk kembali kepada iman Kristen.
            Augustinus terkesan oleh laporan tentang pertobatan filsuf Neo-Platonis terkemuka bernama Victorinus dan Rahib Antonius yang sederhana. Secara intelektual ia sudah yakin akan kebenaran iman Kristen, tetapi tidak mengambil langkah konkret karena enggan memasuki hidup selibat. (Ia menyangka, sebagaimana biasa waktu itu, bahwa pengabdian sepenuhnya kepada kehidupan Kristen meliputi selibat.) Suatu hari, terombang-ambing oleh masalah tadi, ia berlari keluar ke taman. Di sana seorang anka berseru,”Ambillah, bacalah”. Augustinus membaca surat-surat Paulus pada Roma 13:13-14. Ia hanya membaca sampai “Kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya”. Augustinus belakangan menulis,”Saya tidak mau dan tidak perlu membaca lebih lanjut. Segera, setelah membaca kalimat itu, terang keyakinan menyinari hatiku dan seluruh kabut kebimbangan lenyap seketika”. Ini terjadi bulan Agustus tahun 386 dan pada Paskah berikutnya Augustinus dibaptis oleh Ambrosius.
            Setelah pertobatannya, Augustinus serta beberapa teman yang sepandangan dengannya hidup sebagai pertapa dan mengabdikan diri pada studi. Ia juga menulis tiga belas karya melawan Manikheisme antara tahun 387 dan 400. Ia merasakan tanggung jawab yang khusus untuk menentang mereka, karena ia telah langsung mengalami pengaruh Manikheisme dan juga karena ia sendiri ikut mengajak orang mengikuti ajaran sesat ini. Dalam tilusan-tulisan ini ia mengemukakan argumentasi bahwa manusia mempunyai kebebasan kehendak ( yang ditentang Manikheisme). Dosa tidak diciptakan oleh Allah dan juga tidak sama kekal seperti Allah, tetapi timbul karena penyalahgunaan kehendak bebas. Kehendak itu bebas, tidak dipaksakan, dan oleh sebab itu kita bertanggung jawab atas perbuatan kita. Pokok-pokok ini dibahas secara rinci dalam karyanya De Libero Arbitrio ( Pilihan Bebas Kehendak).
            Pada tahun 388 Augustinus kembali ke Afrika. Di sana ia menghindari kota-kota yang tidak mempunyai uskup karena sadar bahwa ada kemungkinan ia akan dipaksa menduduki jabatan itu. Namun pada tahun 391, ketika mengunjungi kota Hippo ia dikenal orang dan “dipaksa” untuk ditahbiskan sebagai presbiter atau iman. Ketika uskup di sana meninggal pada tahun 396, Augustinus menggantikannya. Ia tetap sebagai uskup Hippo sampai meninggal pada tahun 430.
            Sebagai pejabat Kegerejaan ia dihadapkan pada skisma Donatisme, yang sedang merusak gereja di Afrika. Perpecahan mulai tahun 312 dengan persoalan sah tidaknya penahbisan uskup Katolik Kartago. Pada dasarnya skisma tadi berpangkal pada pertikaian antara gereja Afrika yang lebih tua, yaitu “ Gereja pada Martir” dengan *Cyprianus sebagai salah satu “sesepuh”, dari gereja yang lebih baru, yaitu Gereja Katolik Internasional. Seperti biasa, lebih mudah menciptakan perpecahan daripada memulihkannya. Ketika Augustinus muncul, kaum Donatis sedang mendapat angin;sedangkan Gereja Katolik Afrika dalam keadaan kritis. Namun menjelang tahun 412 keadaannya berbalik berkat usaha Augustinus, yang memaksa aliran Donatisme bergerak mundur. Caranya bermacam-macam. Ia meneliti sejarah Donatisme lalu menerbitkan buku yang membeberkan segi-segi yang tidak konsisten dari ajaran mereka serta ekses-ekses dari yang mereka lakukan. Menuruti cara waktu itu, ia pun mengadakan propaganda popular berupa khotbah, bahkan ia sempat juga membuat sejumlah lagu pop!
            Ia juga memanfaatkan kekuasaan negara serta paksaan terhadap penganut Donatisme. Mula-mula ia tidak setuju memakai kekerasan, tetapi lama-kelamaan ia menerimanya-sebagai jawaban atas kekerasan yang cukup serius dari pihak Donatisme dan sebagai alat didik yang ampuh yang dapat disamakan dengan rotan sebagai alat pemukul. Augustinus mendapatkan ayat-ayat yang membenarkan pemakaian kekerasan dalam Perjanjian Lama dan –lebih tidak masuk akal lagi-dalam Lukas 14:23:”Paksalah orang-orang masuk”. Kata-katanya yang sering dikutip, “Kasihilah dan berbuat sekehendakmu” (10 Tractatus in Epistolam Joannis I/ Khotbah-khotbah tentang 1 Yoh. 7:8), dipakai untuk membenarkan penggunaan kekerasan dengan alasan bahwa pada akhirnya bermanfaat bagi yang menerimanya, jadi merupakan semacam ungkapan “kasih”. Augustinus menentang hukuman mati untuk orang sesat, tetapi secara teori ia sudah membenarkan inkuisisi (interogasi oleh gereja) seperti yang dilakukan pada Abad Pertenganan. Pengaruh Augustinus sama besar terhadap teologi dan spiritualitas. Sumbangsihnya pada pemikiran kristiani sangat beraneka ragam. Tetapi bukunya “Pengakuan-pengakuan” telah menyentuh hati banyak orang, sejak saat ia menulis riwayat mengenai perjalanan rohaninya ini.
            Serangan Augustinus terhadap Donatisme terutama mengenai teologi dan dititikberatkan pada ajaran tentang gereja. Ia mengatakan bahwa gereja adalah katolik (meliputi seluruh dunia), sedangkan Donatisme terbatas pada Afrika. Penganut Donatisme seperti “katak yang menguak di rawa-rawa, hanya kamilah orang Kristen”. Mereka berdosa karena menyebabkan skisma, mereka memisahkan diri dari gereja Yesus Kristus. Ini berlawanan dengan kasih, suatu bukti bahwa mereka tidak dipenuhi Roh Kudus. Tuntutan kelompok Donatisme didasarkan pada alasan bahwa ada beberapa pemimpin Gereja Katolik tidak suci (padahal banyak di antara pemimpin mereka juga tidak bersih). Tetapi Augustinus menjawab tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa gereja itu suci karena ia adalah gereja Kristus. Sakramen tetap sah, walaupun dilayani oleh pelayan yang tidak suci karena Kristus sendirilah yang melayaninya. Berlawanan dengan Cyprianus, pendirian Augustinus ini membuatnya dapat menerima sebagai sah pelayanan sakramen yang dilangsungkan di luar Gereja Katolik (misalnya oleh kelompok Donatisme), walupun pelayanan yang demikian hanya manjur kalau yang menerimanya bergabung dengan Gereja Katolik.
            Augustinus adalah orang pertama yang mengembangkan doktrin “gereja yang tak kelihatan”. Tidak semua yang berada di lingkungan gereja adalah orang Kristen sejati-banyak orang namanya saja Kristen. Tetapi kita tidak bisa tahu yang mana sejati dan yang mana palsu. Hanya Allah yang mengetahui hati orang dan siapa milik-Nya. Dengan demikian batas-batas gereja sejati tidak kelihatan dan hanya diketahui Allah. Augustinus membeda-bedakan antara gereja yang kelihatan (yaitu bagian luar, organisasinya), dan yang tidak kelihatan (tubuh yang terdiri dari orang Kristen sejati) dan yang hanya dilihat Allah. Bagi Augustinus, gereja yang tidak kelihatan itu seluruhnya berada dalam lingkungan Gereja Katolik-tidak ada orang Kristen sejati yang berada di luarnya. Tyconius, pengikut Donatisme yang sezaman dengan Augustinus dan yang berada di antara pendapatnya mempengaruhi Augustinus, mengatakan bahwa gereja yang tidak kelihatan adalah umat Allah yang sejati, yang terdapat baik di gereja Donatisme maupun di Gereja Katolik. Sikap ini, yang kini sudah menjadi hal biasa, di gereja prba belum ada padanannya.
Dalam pra-pengetahuan Allah yang tak terungkapkan itu, banyak orang yang kelihatan berada di luar(gereja) sebenarnya berada di dalam gereja ( sebab mereka akan bertobat) dan banyak orang yang kelhatan di dalam gereja sebearnya di luar (karena hanya namanya saja Kristen)…Jelaslah kalau kita berbicara tentang di dalam dan di luar berkenaan dengan gereja, kita harus mempertimbangkan posisi hati dan bukan tubuh…Air yang sama telah menyelamatkan mereka yang berada di dalam bahtera ( Nuh) dan juga membinasakan mereka yang berada di luar. Demikian juga dengan baptisan yang sama, orang Katolik yang baik diselamatkan, sedangkan orang Katolik yang jahat serta orang sesat binasa ( De Baptismo Contra DonatistasBaptisan, melawan Kaum Donatis 5:38-39).
            Pada tahun 411, pada waktu pengikut-pengikut Donatisme dikalahkan dan diusir, Augustinus mulai sadar akan hadirnya aliran Pelagianisme. Pelagius seorang rahib asal Skotlandia atau Irlandia. (*Hieronymus pernah mengatakan bahwa otak Pelagius telah dikaburkan karena terlalu banyak makan bubur!) Ia percaya bahwa seseorang bisa hidup tanpa dosa dengan tidak ditolong oleh Allah, kecuali melalui ajaran-Nya serta teladan Yesus Kristus. Ia tidak percaya bahwa kejatuhan adam ke dalam dosa mempunyai akibat lebih luas daripada membawa kematian ke dalam dunia dan sebagia contoh dari dosa. Peristiwa itu tidak berakibat bahwa dosa menjadi tak terelakkan. Augustinus melawan panadangan ini dengan keras dan dengan seluruh tenaganya sampai ia meninggal.
            Pada awal kekristenannya, Augustinus percaya bahwa kita memerlukan kasih karunia Allah, yaitu pertolongan batin dri Roh Kudus, untuk hidup sebagai orang Kristen. Tetapi ia juga percaya bahwa orang yang tidak percaya tanpa bantuan dan atas kemauannya yng bebas mampu mengambil langkah pertama untuk berbalik kepada Allah. Dengan kata lain, Allah member kasih karunia-Nya (atau Roh Kudus) kepada mereka yang menanggapi Injil dengan iman. Namun setelah beberapa tahun Augustinus sampa pada pengertian anugerah yang lebih mendalam. Ia sadar bahwa ia pun merupakan karunia Allah, hasil pekerjaan rahmat-Ny. “Dan apakah yang engkau punyai,yang tidak engkau terima?” (1 Kor.4:7). Keselamatan merupakan seluruhnya karunia Allah dari mula dan seterusnya. Karunia itu tidak diberikan kepada semua orang-tidak semua orang percaya. Karunia itu diberikan kepada mereka yang dipilih oleh Dia-umat pilihan-Nya. “ Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi pada kemurahan hati Allah”( Rm.9:16). Augustinus sampai pada pendapat ini menjelang tahun 397. Ia mendapatkannya dari pengalamannya yang lebih mendalam tentak watak manusia serta penalaahan mendalam terhadap karangan-karangan Rasul Paulus. Kemudian ia menulis Confessiones (Pengakuan-pengakuan), yang di dalamnya ia mengisahkan riwayat kehidupannya hingga kematian ibunya tak lama setelah pertobatannya. Ia menafsirkannya menurut keyakinan-keyakinan yang baru mengenai anugerah Allah.
Engkau menggerakkan hati kami untuk bersuka dalam puji-pujian kami kepada-Mu, karena Engkau membuat kami bagi-Mu dan hati kami gelisah senantiasa sampai kami menemukan ketenteraman di dalam Dikau…kini kuingin renungkan kembali kekejianku yang lalu serta dosa-dosa dagingku, bukan karena aku menyukanya, melainkan karena akau mengasihi Dikau, ya Allahku…Dalam (kitab-kitab Platonisme) aku baca…bahwa pada mulannya adalah Firman dan Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah…tetapi di sana akau tidak membaca bahwa Firman menjadi daging dan hidup diantara kami…Aku ingin (hanya melayani Allah); tetapi aku terikat, bukan oleh rantai besi orang lain, melaikan oleh kemauan besiku sendiri. Musuh telah mengendalikan kemauanku dan oleh karenanya telah membuat rantai bagiku dan membelenggu diriku. Nafsu timbul dari kemauan yang degil, kemudian datang kebiasaan sebagai akibat dari sikap tidak menentang kebiasaan itu….Berikan (kasih karunia-Mu untuk berbuat)menurut perintah-Mu dan perintah apa kehendak-Mu ( Confessiones/Pengakuan-pengakuan 1:1;2:1;7:9;8:5;10:29).
            Pandangan-pandangan Augustinus pada dasarnya sudah matang pada tahun 397, namun pertentangannya dengan Pelagius menyebabkan ia mengembangkan panadangan-pandangan tersebut secara terperinci. Hamper dua puluh tahun lamanya Augustinus berkampanye dengan sengit melawan pengikut-pengikut Pelagius, dengan memakai baik kebijaksanaan gerejawi maupun duniawi dan tulisan-tulisannya. I percaya bahwa semua manusia berdosa “dalam Adam” dan oleh sebab itu semua orang (termasuk bayi) bersalah dan cenderung untuk berbuat dosa. Kecenderungan ini berbentuk “nafsu jasmaniah” yang menegndalikan manusia (nafsu berahi hanyalah puncak nafsu tersebut). Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa berada pada posisi yang menyedihkan ketika berbuat dosa itu tak terelakkan lagi, namun ia melakukannya secara “bebas” atau atas kemauan sendiri. Ia tetap berkemauan bebas dan bertanggungjawab dalam arti bahwa ia bebas melakukan apa yang ia inginkan, tetapi ia tidak beba menginginkan apa yang patut dilakukannya.
            Allah, oleh rahmat-Nya, telah memilih sejumlah orang-tidak semuanya-untuk diselamatkan. Ini dilakukan-Nya menurut kasih karunia-Nya. Pertama-tama kasih karunia yang bekerja. Kasih karunia ini bersifat mendahului, artinya mendahului setiap kemauan berbuat baik dari pihak manusia. “Kasih karunia itu tidak mencari orang yang ingin ( berbuat baik), tetapi ia membuat orang ingin berbuat baik. “Kasih karunia itu juga mujarab, selalu berhasil mengubah kemauan. Ini dilakukan bukan dengan meniadakan kemauan bebas itu, tetapi dengan merayunya. Allah adalah perayu yang tidak pernah gagal; Ia mengambil hati orang, tetapi dengan cara yang membuat orang itu dengan senang hati dan secara bebas menyambutnya. Sekali kemauan itu berubah, maka ia kan dapat bekerja sama dengan kasih karunia. Kemudian kasih karunia yang bekerja sama diperlukan karena kemauan kita yang telah berubah itu masih lemah. Tanpa pertolongan Tuhan kita akan mengendur lagi. Agar kita dapat bertahan sampa kesudahan dan diselamatkan, kita masih memerlukan kasih karunia yang lain: yitu karunia ketabahan. Karunia ini diberikan tidak kepada semua orang yang mulai hidup sebagai orang Kristen, tetapi hanya kepada mereka yang terpilih.
(Allah) menyampaikan rahmat-Nya kepada (manusia) bukan karena sudah mengenal-Nya, melaikan agar mereka dapat mengenal-Nya. Ia memberikan kebenaran-Nya kepada (manusia) dan membenarkan orang fasik bukan karena mereka memang benar, melaikan agar mereka boleh menajdi benar….kalau suatu perintah ditaati karena orang takut dihukum dan bukan karena mencintai kebenaran, maka mereka menaatinya sebagai budak, bukan atas kemauan sendiri dan oleh sebab itu perintah itu (sebenarnya) tidak ditaati. Karena buah itu baik hanya kalau tumbuh dari akar kasih…Orang yang sambil menempuh jalan menuju kebenaran itu menjadi sadar betapa jauh perjalanan yang masih harus ditempuh menuju hidup tak bercela, dialah itu yang sungguh maju dalam kebenaran ( De Spiritu et Littera/Roh dan Huruf 11,26,64).
            Berdasarkan kewibawaan (yaitu dari lkitab sebagaimana dijelaskan oeh gereja) kita percaya pada doktrin Kektritunggalan, yaitu bahwa Allah adalah tig oknum dalam satu hakikat. Tetapi apa artinya? Akal mencoba mengerti apa yang dipercaya oleh iman. Augustinus mencoba menjelaskan hl ini dengan memakai analogi-analogi atau persaman. Ia  mencari persamaan dalam jiwa manusia yang diciptakan menurut rupa Allah. Ia menelaah sejumlah kemungkinan yang dapat dipakai sebagai analogi. Kebanyakan didasarkan atas tiga rangkain: berada, mengetahui dn menghendaki. Analoginya yang terakhir dan terbaik ialah tentang akal yang mengingat, mengerti dan mengasihi Allah. Dengan meneliti hubungan antara ingatan, penegertian dan kasih akan Allah, Augustinus mencoba menyelami hubungan ketiga oknum Ketritunggalan. Namun pada akhirnya ia harus mengaku bahwa persamaan yang paling baik pun masih kurang sempurna, karena kini kita hanya melihat dalam “cermin uatu gambaran yang samar-samar” ( 1 Kor. 13:12).
            Antara tahun 413 dan 427 Augustinus menulis karyanya yang terpanjang, yaitu De Civitate Dei ( Kota Allah). Pada tahun 410 Roma jatuh ke tangan penyerbu-penyerbu barbar. Atas musibah yang belum pernah terjadi sebelumnya itu orang-orang Kristenlah yang dipersalahkan. Pada dewa marah karena tidak disembah. Augustinus menanggapi krisis ini dengan menulis karya apologetic terbesar gereja purba. Pada bagian pertama ia kemukakan bahwa para ilah kafir pada hakikatnya gagal memberi baik harta duniawi maupun surgawi. Bagi Augustinus kekristenan tidak membawa keberhasilan duniawi yang fana ( berlawanan dengan harapan-harapan besar *Eusebius dari Kaisarea sesudah pertobatan Konstantinus). Tetapi Injil memberikan kedamaian batin dan suatu tujuan kekal. Pada bagian kedua Augustinus menelusuri sejarah sejak penciptaan hingga kekekalan, dan dua kota atau masyarakat yang berbeda: yaitu kota Allah dan kota Iblis, atau kota surgawi Yerusalem dan kota duniawi Babilon. Kota-kota itu bukan dua negara yang bersaing, bukan pula dua organisasi (seperti gereja dan negara), melaikan dua kelompok manusia. Mereka berbeda karena cinta yang berbeda: kasih kepada Allah melawan cinta akan diri sendiri.;cinta akan hal yang baka melawan cinta akan hal yang fana.
Dua kota telah terbentuk oleh dua cinta; kota duniawi oleh cinta akan diri sendiri yang menuju ke penghinaan terhadap Allah, dan kota surgawi yang dibentuk oleh kasih akan Allah yang menuju ke pengabaian diri. Yang pertama mengagungkan diri, yang kedua mengangungkan Tuhan…Di kota yang satu para penguasa dan bangsa-bangsa yang ditaklukkan dikuasi berdasarkan cinta akan kekuasaan. Di kota yang lain para penguasa dan rakyatnya saling melayani dalam kasih-yakni rakyat dengan menaati dan para penguasa dengan memelihara semua…Kedua kota ini adalah dua paguyuban manusia. Yang satu ditakdirkan memerintah bersama Allah kekal selamanya, yang lain menderita hukuman selama-lamanya bersama Iblis…Warga kota lahir di dalam kota duniawi oleh alam yang sudah rusak oleh dosa, tetapi mereka lahir ke dalam kota surgawi oleh kasih karunia yang membebaskan alam dan dosa ( De Civitate Dei/Kota Allah 14:28-15:2).
            Augustinus meninggal pada tahun 430, ketika tentara barbar siap menyerang kota Hippo. Peradaban Romawi Barat mulai berantakan. Tetapi dalam De Civitate Dei, Augustinus telah mengambil kebudayaan klasik dan mengubahnya menjadi suatu kebudayaan Kristen baru. Karya ini, salah satu karya gereja purba terbesar, dalam berbagai hal menjadi kerangka bagi Abad Pertengahan.