Cetak
Biru Iman
Augustinus
adalah teolog Kristen yang terbesar setalah Rasul Paulus. Ia adalah Sang Bapa
Gereja Barat. Pemikirannya mendominasi Abad Pertengahan, pemikiran yang baik
maupun yang kurang baik. Reformasi dan Kontra-Reformasi Katolik abad ke-16
kedua-duanya merupakan penggalian kembali dari pemikiran Augustinus.
*B.B.Warfield menyebut Reformasi sebagai “kemenangan terakhir dari doktrin
Augustinus tentang kasih karunia atas doktrin Augustinus tentang gereja”.
Aurelius Augustinus lahir di
Thagaste- sekarang Aljazair-pada tahun 354 dari ayah kafir dan ibu Kristen
Katolik bernama Monica. Pada masa studinya di Kartago ia memutuskan untuk
mengabdikan diri pada filsafat. Sebagai katekumen Katolik (calon baptisan),
sudah tentu ia berpaling pada Perjanjian Lama. Namun kejutan besar menunggunya.
Bagi orang yang sudah terbiasa dengan *filsafat Yunani, Perjanjian Lama member
kesan yang sangat bersahaja dan tidak rohaniah. Reaksi Augustinus adalah
menolaknya dan ia bergabung dengan pengikut Manikheisme. Manikheisme adalah
agama Persia dengan dua prinsip atau dewa utama: yaitu Terang dan Kegelapan.
Kedua hal ini senantiasa bertentangan. Alam kelihatan berasal dari kegelapan, sedang
manusia adalah hasil Terang. Teori ini menjelaskan asal-usul kejahatan. Ia juga
dipakai untuk membebaskan kita dari tanggung jawab atas kejahatan kita ( yang
adalah hasil kegelapan). Namun Augustinus akhirnya insaf bahwa, di samping
banyak menjawab persoalan, Manikheisme juga banyak menciptakan problema baru;
lalu ia mencari-cari kebenaran ke tempat lain.
Pada waktu itu ia diangkat sebagai
guru besar retorika di Milano. Kedudukan ini penting dan dapat disusul dengan
jabatan yang lebih tinggi pada bidang pemerintahan. Augustinus mulai menbaca
karya-karya Neo-Platonisme dan mendapatkan jawaban yang lebih memuaskan atas
masalah kejahatan. Kejahatan bukan prinsip yang positif, lepas dari Allah.
Kejahatan bukan sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan kekurangan
atau tidak adanya kebaikan. Dengan istilah zaman sekarang dapat kita katakana
bahwa kejahatan itu menjadi parasit dari kebaikan atau kejahatan adalah sesuatu
yang tadinya baik tetapi sekarang telah rusak. Nafsu, misalnya, adalah cinta yang
salah arah. Augustinus kini juga mulai menghadiri khotbah-khotbah *Ambrosius.
Ia terkesan dengan cara Ambrosius mempertemukan Perjanjian Lama dan kerohanian
Platonisme melalui alegori. Hal ini mempersiapkannya untuk kembali kepada iman
Kristen.
Augustinus terkesan oleh laporan
tentang pertobatan filsuf Neo-Platonis terkemuka bernama Victorinus dan Rahib
Antonius yang sederhana. Secara intelektual ia sudah yakin akan kebenaran iman
Kristen, tetapi tidak mengambil langkah konkret karena enggan memasuki hidup
selibat. (Ia menyangka, sebagaimana biasa waktu itu, bahwa pengabdian
sepenuhnya kepada kehidupan Kristen meliputi selibat.) Suatu hari,
terombang-ambing oleh masalah tadi, ia berlari keluar ke taman. Di sana seorang
anka berseru,”Ambillah, bacalah”. Augustinus membaca surat-surat Paulus pada
Roma 13:13-14. Ia hanya membaca sampai “Kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai
perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan
keinginannya”. Augustinus belakangan menulis,”Saya tidak mau dan tidak perlu
membaca lebih lanjut. Segera, setelah membaca kalimat itu, terang keyakinan
menyinari hatiku dan seluruh kabut kebimbangan lenyap seketika”. Ini terjadi
bulan Agustus tahun 386 dan pada Paskah berikutnya Augustinus dibaptis oleh
Ambrosius.
Setelah pertobatannya, Augustinus
serta beberapa teman yang sepandangan dengannya hidup sebagai pertapa dan
mengabdikan diri pada studi. Ia juga menulis tiga belas karya melawan
Manikheisme antara tahun 387 dan 400. Ia merasakan tanggung jawab yang khusus untuk
menentang mereka, karena ia telah langsung mengalami pengaruh Manikheisme dan
juga karena ia sendiri ikut mengajak orang mengikuti ajaran sesat ini. Dalam
tilusan-tulisan ini ia mengemukakan argumentasi bahwa manusia mempunyai
kebebasan kehendak ( yang ditentang Manikheisme). Dosa tidak diciptakan oleh
Allah dan juga tidak sama kekal seperti Allah, tetapi timbul karena
penyalahgunaan kehendak bebas. Kehendak itu bebas, tidak dipaksakan, dan oleh
sebab itu kita bertanggung jawab atas perbuatan kita. Pokok-pokok ini dibahas
secara rinci dalam karyanya De Libero Arbitrio ( Pilihan Bebas Kehendak).
Pada tahun 388 Augustinus kembali ke
Afrika. Di sana ia menghindari kota-kota yang tidak mempunyai uskup karena
sadar bahwa ada kemungkinan ia akan dipaksa menduduki jabatan itu. Namun pada
tahun 391, ketika mengunjungi kota Hippo ia dikenal orang dan “dipaksa” untuk
ditahbiskan sebagai presbiter atau iman. Ketika uskup di sana meninggal pada
tahun 396, Augustinus menggantikannya. Ia tetap sebagai uskup Hippo sampai
meninggal pada tahun 430.
Sebagai pejabat Kegerejaan ia
dihadapkan pada skisma Donatisme, yang sedang merusak gereja di Afrika.
Perpecahan mulai tahun 312 dengan persoalan sah tidaknya penahbisan uskup
Katolik Kartago. Pada dasarnya skisma tadi berpangkal pada pertikaian antara
gereja Afrika yang lebih tua, yaitu “ Gereja pada Martir” dengan *Cyprianus
sebagai salah satu “sesepuh”, dari gereja yang lebih baru, yaitu Gereja Katolik
Internasional. Seperti biasa, lebih mudah menciptakan perpecahan daripada
memulihkannya. Ketika Augustinus muncul, kaum Donatis sedang mendapat
angin;sedangkan Gereja Katolik Afrika dalam keadaan kritis. Namun menjelang
tahun 412 keadaannya berbalik berkat usaha Augustinus, yang memaksa aliran
Donatisme bergerak mundur. Caranya bermacam-macam. Ia meneliti sejarah
Donatisme lalu menerbitkan buku yang membeberkan segi-segi yang tidak konsisten
dari ajaran mereka serta ekses-ekses dari yang mereka lakukan. Menuruti cara
waktu itu, ia pun mengadakan propaganda popular berupa khotbah, bahkan ia
sempat juga membuat sejumlah lagu pop!
Ia juga memanfaatkan kekuasaan
negara serta paksaan terhadap penganut Donatisme. Mula-mula ia tidak setuju
memakai kekerasan, tetapi lama-kelamaan ia menerimanya-sebagai jawaban atas
kekerasan yang cukup serius dari pihak Donatisme dan sebagai alat didik yang
ampuh yang dapat disamakan dengan rotan sebagai alat pemukul. Augustinus
mendapatkan ayat-ayat yang membenarkan pemakaian kekerasan dalam Perjanjian
Lama dan –lebih tidak masuk akal lagi-dalam Lukas 14:23:”Paksalah orang-orang
masuk”. Kata-katanya yang sering dikutip, “Kasihilah dan berbuat sekehendakmu”
(10 Tractatus in Epistolam Joannis I/ Khotbah-khotbah tentang 1 Yoh. 7:8),
dipakai untuk membenarkan penggunaan kekerasan dengan alasan bahwa pada akhirnya
bermanfaat bagi yang menerimanya, jadi merupakan semacam ungkapan “kasih”.
Augustinus menentang hukuman mati untuk orang sesat, tetapi secara teori ia
sudah membenarkan inkuisisi (interogasi oleh gereja) seperti yang dilakukan
pada Abad Pertenganan. Pengaruh Augustinus sama besar terhadap teologi dan
spiritualitas. Sumbangsihnya pada pemikiran kristiani sangat beraneka ragam.
Tetapi bukunya “Pengakuan-pengakuan” telah menyentuh hati banyak orang, sejak
saat ia menulis riwayat mengenai perjalanan rohaninya ini.
Serangan Augustinus terhadap
Donatisme terutama mengenai teologi dan dititikberatkan pada ajaran tentang
gereja. Ia mengatakan bahwa gereja adalah katolik (meliputi seluruh dunia),
sedangkan Donatisme terbatas pada Afrika. Penganut Donatisme seperti “katak
yang menguak di rawa-rawa, hanya kamilah orang Kristen”. Mereka berdosa karena
menyebabkan skisma, mereka memisahkan diri dari gereja Yesus Kristus. Ini
berlawanan dengan kasih, suatu bukti bahwa mereka tidak dipenuhi Roh Kudus.
Tuntutan kelompok Donatisme didasarkan pada alasan bahwa ada beberapa pemimpin
Gereja Katolik tidak suci (padahal banyak di antara pemimpin mereka juga tidak
bersih). Tetapi Augustinus menjawab tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa
gereja itu suci karena ia adalah gereja Kristus. Sakramen tetap sah, walaupun
dilayani oleh pelayan yang tidak suci karena Kristus sendirilah yang
melayaninya. Berlawanan dengan Cyprianus, pendirian Augustinus ini membuatnya
dapat menerima sebagai sah pelayanan sakramen yang dilangsungkan di luar Gereja
Katolik (misalnya oleh kelompok Donatisme), walupun pelayanan yang demikian
hanya manjur kalau yang menerimanya bergabung dengan Gereja Katolik.
Augustinus adalah orang pertama yang
mengembangkan doktrin “gereja yang tak kelihatan”. Tidak semua yang berada di
lingkungan gereja adalah orang Kristen sejati-banyak orang namanya saja
Kristen. Tetapi kita tidak bisa tahu yang mana sejati dan yang mana palsu.
Hanya Allah yang mengetahui hati orang dan siapa milik-Nya. Dengan demikian
batas-batas gereja sejati tidak kelihatan dan hanya diketahui Allah. Augustinus
membeda-bedakan antara gereja yang kelihatan (yaitu bagian luar,
organisasinya), dan yang tidak kelihatan (tubuh yang terdiri dari orang Kristen
sejati) dan yang hanya dilihat Allah. Bagi Augustinus, gereja yang tidak
kelihatan itu seluruhnya berada dalam lingkungan Gereja Katolik-tidak ada orang
Kristen sejati yang berada di luarnya. Tyconius, pengikut Donatisme yang
sezaman dengan Augustinus dan yang berada di antara pendapatnya mempengaruhi
Augustinus, mengatakan bahwa gereja yang tidak kelihatan adalah umat Allah yang
sejati, yang terdapat baik di gereja Donatisme maupun di Gereja Katolik. Sikap
ini, yang kini sudah menjadi hal biasa, di gereja prba belum ada padanannya.
Dalam
pra-pengetahuan Allah yang tak terungkapkan itu, banyak orang yang kelihatan
berada di luar(gereja) sebenarnya berada di dalam gereja ( sebab mereka akan
bertobat) dan banyak orang yang kelhatan di dalam gereja sebearnya di luar
(karena hanya namanya saja Kristen)…Jelaslah kalau kita berbicara tentang di
dalam dan di luar berkenaan dengan gereja, kita harus mempertimbangkan posisi
hati dan bukan tubuh…Air yang sama telah menyelamatkan mereka yang berada di
dalam bahtera ( Nuh) dan juga membinasakan mereka yang berada di luar. Demikian
juga dengan baptisan yang sama, orang Katolik yang baik diselamatkan, sedangkan
orang Katolik yang jahat serta orang sesat binasa ( De Baptismo Contra
DonatistasBaptisan, melawan Kaum Donatis 5:38-39).
Pada tahun 411, pada waktu pengikut-pengikut
Donatisme dikalahkan dan diusir, Augustinus mulai sadar akan hadirnya aliran
Pelagianisme. Pelagius seorang rahib asal Skotlandia atau Irlandia.
(*Hieronymus pernah mengatakan bahwa otak Pelagius telah dikaburkan karena
terlalu banyak makan bubur!) Ia percaya bahwa seseorang bisa hidup tanpa dosa
dengan tidak ditolong oleh Allah, kecuali melalui ajaran-Nya serta teladan
Yesus Kristus. Ia tidak percaya bahwa kejatuhan adam ke dalam dosa mempunyai
akibat lebih luas daripada membawa kematian ke dalam dunia dan sebagia contoh
dari dosa. Peristiwa itu tidak berakibat bahwa dosa menjadi tak terelakkan.
Augustinus melawan panadangan ini dengan keras dan dengan seluruh tenaganya
sampai ia meninggal.
Pada awal kekristenannya, Augustinus
percaya bahwa kita memerlukan kasih karunia Allah, yaitu pertolongan batin dri
Roh Kudus, untuk hidup sebagai orang Kristen. Tetapi ia juga percaya bahwa
orang yang tidak percaya tanpa bantuan dan atas kemauannya yng bebas mampu
mengambil langkah pertama untuk berbalik kepada Allah. Dengan kata lain, Allah
member kasih karunia-Nya (atau Roh Kudus) kepada mereka yang menanggapi Injil
dengan iman. Namun setelah beberapa tahun Augustinus sampa pada pengertian
anugerah yang lebih mendalam. Ia sadar bahwa ia pun merupakan karunia Allah,
hasil pekerjaan rahmat-Ny. “Dan apakah yang engkau punyai,yang tidak engkau
terima?” (1 Kor.4:7). Keselamatan merupakan seluruhnya karunia Allah dari mula
dan seterusnya. Karunia itu tidak diberikan kepada semua orang-tidak semua
orang percaya. Karunia itu diberikan kepada mereka yang dipilih oleh Dia-umat
pilihan-Nya. “ Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha
orang, tetapi pada kemurahan hati Allah”( Rm.9:16). Augustinus sampai pada
pendapat ini menjelang tahun 397. Ia mendapatkannya dari pengalamannya yang
lebih mendalam tentak watak manusia serta penalaahan mendalam terhadap
karangan-karangan Rasul Paulus. Kemudian ia menulis Confessiones
(Pengakuan-pengakuan), yang di dalamnya ia mengisahkan riwayat kehidupannya
hingga kematian ibunya tak lama setelah pertobatannya. Ia menafsirkannya
menurut keyakinan-keyakinan yang baru mengenai anugerah Allah.
Engkau
menggerakkan hati kami untuk bersuka dalam puji-pujian kami kepada-Mu, karena
Engkau membuat kami bagi-Mu dan hati kami gelisah senantiasa sampai kami
menemukan ketenteraman di dalam Dikau…kini kuingin renungkan kembali kekejianku
yang lalu serta dosa-dosa dagingku, bukan karena aku menyukanya, melainkan
karena akau mengasihi Dikau, ya Allahku…Dalam (kitab-kitab Platonisme) aku
baca…bahwa pada mulannya adalah Firman dan Firman itu bersama-sama dengan Allah
dan Firman itu adalah Allah…tetapi di sana akau tidak membaca bahwa Firman
menjadi daging dan hidup diantara kami…Aku ingin (hanya melayani Allah); tetapi
aku terikat, bukan oleh rantai besi orang lain, melaikan oleh kemauan besiku
sendiri. Musuh telah mengendalikan kemauanku dan oleh karenanya telah membuat
rantai bagiku dan membelenggu diriku. Nafsu timbul dari kemauan yang degil,
kemudian datang kebiasaan sebagai akibat dari sikap tidak menentang kebiasaan
itu….Berikan (kasih karunia-Mu untuk berbuat)menurut perintah-Mu dan perintah
apa kehendak-Mu ( Confessiones/Pengakuan-pengakuan 1:1;2:1;7:9;8:5;10:29).
Pandangan-pandangan Augustinus pada
dasarnya sudah matang pada tahun 397, namun pertentangannya dengan Pelagius
menyebabkan ia mengembangkan panadangan-pandangan tersebut secara terperinci.
Hamper dua puluh tahun lamanya Augustinus berkampanye dengan sengit melawan
pengikut-pengikut Pelagius, dengan memakai baik kebijaksanaan gerejawi maupun
duniawi dan tulisan-tulisannya. I percaya bahwa semua manusia berdosa “dalam
Adam” dan oleh sebab itu semua orang (termasuk bayi) bersalah dan cenderung
untuk berbuat dosa. Kecenderungan ini berbentuk “nafsu jasmaniah” yang menegndalikan
manusia (nafsu berahi hanyalah puncak nafsu tersebut). Manusia yang telah jatuh
ke dalam dosa berada pada posisi yang menyedihkan ketika berbuat dosa itu tak
terelakkan lagi, namun ia melakukannya secara “bebas” atau atas kemauan
sendiri. Ia tetap berkemauan bebas dan bertanggungjawab dalam arti bahwa ia
bebas melakukan apa yang ia inginkan, tetapi ia tidak beba menginginkan apa
yang patut dilakukannya.
Allah, oleh rahmat-Nya, telah
memilih sejumlah orang-tidak semuanya-untuk diselamatkan. Ini dilakukan-Nya
menurut kasih karunia-Nya. Pertama-tama kasih karunia yang bekerja. Kasih
karunia ini bersifat mendahului, artinya mendahului setiap kemauan berbuat baik
dari pihak manusia. “Kasih karunia itu tidak mencari orang yang ingin ( berbuat
baik), tetapi ia membuat orang ingin berbuat baik. “Kasih karunia itu juga
mujarab, selalu berhasil mengubah kemauan. Ini dilakukan bukan dengan
meniadakan kemauan bebas itu, tetapi dengan merayunya. Allah adalah perayu yang
tidak pernah gagal; Ia mengambil hati orang, tetapi dengan cara yang membuat
orang itu dengan senang hati dan secara bebas menyambutnya. Sekali kemauan itu
berubah, maka ia kan dapat bekerja sama dengan kasih karunia. Kemudian kasih
karunia yang bekerja sama diperlukan karena kemauan kita yang telah berubah itu
masih lemah. Tanpa pertolongan Tuhan kita akan mengendur lagi. Agar kita dapat
bertahan sampa kesudahan dan diselamatkan, kita masih memerlukan kasih karunia
yang lain: yitu karunia ketabahan. Karunia ini diberikan tidak kepada semua
orang yang mulai hidup sebagai orang Kristen, tetapi hanya kepada mereka yang
terpilih.
(Allah)
menyampaikan rahmat-Nya kepada (manusia) bukan karena sudah mengenal-Nya,
melaikan agar mereka dapat mengenal-Nya. Ia memberikan kebenaran-Nya kepada
(manusia) dan membenarkan orang fasik bukan karena mereka memang benar,
melaikan agar mereka boleh menajdi benar….kalau suatu perintah ditaati karena
orang takut dihukum dan bukan karena mencintai kebenaran, maka mereka
menaatinya sebagai budak, bukan atas kemauan sendiri dan oleh sebab itu
perintah itu (sebenarnya) tidak ditaati. Karena buah itu baik hanya kalau
tumbuh dari akar kasih…Orang yang sambil menempuh jalan menuju kebenaran itu
menjadi sadar betapa jauh perjalanan yang masih harus ditempuh menuju hidup tak
bercela, dialah itu yang sungguh maju dalam kebenaran ( De Spiritu et
Littera/Roh dan Huruf 11,26,64).
Berdasarkan kewibawaan (yaitu dari
lkitab sebagaimana dijelaskan oeh gereja) kita percaya pada doktrin
Kektritunggalan, yaitu bahwa Allah adalah tig oknum dalam satu hakikat. Tetapi
apa artinya? Akal mencoba mengerti apa yang dipercaya oleh iman. Augustinus
mencoba menjelaskan hl ini dengan memakai analogi-analogi atau persaman.
Ia mencari persamaan dalam jiwa manusia
yang diciptakan menurut rupa Allah. Ia menelaah sejumlah kemungkinan yang dapat
dipakai sebagai analogi. Kebanyakan didasarkan atas tiga rangkain: berada,
mengetahui dn menghendaki. Analoginya yang terakhir dan terbaik ialah tentang
akal yang mengingat, mengerti dan mengasihi Allah. Dengan meneliti hubungan
antara ingatan, penegertian dan kasih akan Allah, Augustinus mencoba menyelami
hubungan ketiga oknum Ketritunggalan. Namun pada akhirnya ia harus mengaku
bahwa persamaan yang paling baik pun masih kurang sempurna, karena kini kita
hanya melihat dalam “cermin uatu gambaran yang samar-samar” ( 1 Kor. 13:12).
Antara tahun 413 dan 427 Augustinus
menulis karyanya yang terpanjang, yaitu De Civitate Dei ( Kota Allah). Pada
tahun 410 Roma jatuh ke tangan penyerbu-penyerbu barbar. Atas musibah yang
belum pernah terjadi sebelumnya itu orang-orang Kristenlah yang dipersalahkan.
Pada dewa marah karena tidak disembah. Augustinus menanggapi krisis ini dengan
menulis karya apologetic terbesar gereja purba. Pada bagian pertama ia
kemukakan bahwa para ilah kafir pada hakikatnya gagal memberi baik harta
duniawi maupun surgawi. Bagi Augustinus kekristenan tidak membawa keberhasilan
duniawi yang fana ( berlawanan dengan harapan-harapan besar *Eusebius dari
Kaisarea sesudah pertobatan Konstantinus). Tetapi Injil memberikan kedamaian
batin dan suatu tujuan kekal. Pada bagian kedua Augustinus menelusuri sejarah
sejak penciptaan hingga kekekalan, dan dua kota atau masyarakat yang berbeda:
yaitu kota Allah dan kota Iblis, atau kota surgawi Yerusalem dan kota duniawi
Babilon. Kota-kota itu bukan dua negara yang bersaing, bukan pula dua
organisasi (seperti gereja dan negara), melaikan dua kelompok manusia. Mereka
berbeda karena cinta yang berbeda: kasih kepada Allah melawan cinta akan diri
sendiri.;cinta akan hal yang baka melawan cinta akan hal yang fana.
Dua
kota telah terbentuk oleh dua cinta; kota duniawi oleh cinta akan diri sendiri
yang menuju ke penghinaan terhadap Allah, dan kota surgawi yang dibentuk oleh
kasih akan Allah yang menuju ke pengabaian diri. Yang pertama mengagungkan
diri, yang kedua mengangungkan Tuhan…Di kota yang satu para penguasa dan
bangsa-bangsa yang ditaklukkan dikuasi berdasarkan cinta akan kekuasaan. Di
kota yang lain para penguasa dan rakyatnya saling melayani dalam kasih-yakni
rakyat dengan menaati dan para penguasa dengan memelihara semua…Kedua kota ini
adalah dua paguyuban manusia. Yang satu ditakdirkan memerintah bersama Allah
kekal selamanya, yang lain menderita hukuman selama-lamanya bersama Iblis…Warga
kota lahir di dalam kota duniawi oleh alam yang sudah rusak oleh dosa, tetapi
mereka lahir ke dalam kota surgawi oleh kasih karunia yang membebaskan alam dan
dosa ( De Civitate Dei/Kota Allah 14:28-15:2).
Augustinus meninggal pada tahun 430,
ketika tentara barbar siap menyerang kota Hippo. Peradaban Romawi Barat mulai
berantakan. Tetapi dalam De Civitate Dei, Augustinus telah mengambil kebudayaan
klasik dan mengubahnya menjadi suatu kebudayaan Kristen baru. Karya ini, salah satu
karya gereja purba terbesar, dalam berbagai hal menjadi kerangka bagi Abad
Pertengahan.